Jumat, 09 Maret 2012

ketika matahari tak lagi bersinar


KETIKA MATAHARI TAK LAGI BERSINAR
BY : NUUR ALVYA

Pagi yang cerah mengiringi gerak gerik individu dalam menjalani aktivitasnya. Ku pandang dunia dari jendela kamarku yang terletak di lantai dua ma’had Walisongo, tempat tinggalku semenjak menginjakkan kaki di bumi semarang. Ku lihat kawanku yang tengah sibuk bersiap pergi kuliah. Diriku yang tak ada jadwal kuliah pada hari ini, termenung dan tenggelam dalam lamunan yang seolah tak seorang pun mampu menyelam ke dalamnya.
Saat itu, hari dimana salah seorang tokoh besar islam di pesantren Attanwir, KH. Ali Chumaidy Sahal. Tempat dimana aku mengaih kail untuk menangkap ilmu di bangku MTs dan MA. Beliau telah tiada dan selamanya kan meninggalkan pesantren Attanwir yang tercinta. Hatiku begitu miris, namun apalah daya ini semua telah diatur Allah SWT. Aku yakin beliau kan lebih bahagia di sisi_Nya.
Terlintas dalam jejaring otakku, apakah yang terjadi jika mentari tak lagi bersinar. Akankah ada yang menggantikan hangat sinarnya di pagi hari, dan adakah yang sinar lain yang mampu mengeringkan jemuran-jemuran anak ma’had, ikan-ikan milik orang pinggir pantai, menjadikan evaporasi pada air laut yang kemudian turun dengan bentuk bening, kecil, dan menyejukkan sebagaimana hujan yang menyuburkan tanaman. Begitu sulit rasanya hidup di tengah-tengah masyarakat yang plural, jika tak ada lagi sesosok yang memberi pedoman dan aturan untuk menjalankan hidup ini.
Adakah seseorang yang mampu menggantikannya? Adakah mentari yang telah terbenam kembali terbit di malam hari? Namun hanya cahaya bulan yang ku dapat, meski tak seterang mentari namun itu lebih baik dari pada harus berjalan gelap tanpa secercah cahaya pun. Itulah sinar-sinar yang ada pada diri asatidz yang walau tak seterang cahaya sang yai namun itu kan menjadi pemandu dan sebagai obor penerangku di saat berjalan di tengah gelapnya dunia sebagaimana dunia yang kian memfokuskan diri pada teknologi tanpa diikuti kemajuan moralitas bangsa.