KETIKA MATAHARI
TAK LAGI BERSINAR
BY : NUUR ALVYA
Pagi yang cerah
mengiringi gerak gerik individu dalam menjalani aktivitasnya. Ku pandang dunia
dari jendela kamarku yang terletak di lantai dua ma’had Walisongo, tempat
tinggalku semenjak menginjakkan kaki di bumi semarang. Ku lihat kawanku yang
tengah sibuk bersiap pergi kuliah. Diriku yang tak ada jadwal kuliah pada hari
ini, termenung dan tenggelam dalam lamunan yang seolah tak seorang pun mampu
menyelam ke dalamnya.
Saat itu, hari
dimana salah seorang tokoh besar islam di pesantren Attanwir, KH. Ali Chumaidy
Sahal. Tempat dimana aku mengaih kail untuk menangkap ilmu di bangku MTs dan
MA. Beliau telah tiada dan selamanya kan meninggalkan pesantren Attanwir yang
tercinta. Hatiku begitu miris, namun apalah daya ini semua telah diatur Allah
SWT. Aku yakin beliau kan lebih bahagia di sisi_Nya.
Terlintas dalam
jejaring otakku, apakah yang terjadi jika mentari tak lagi bersinar. Akankah
ada yang menggantikan hangat sinarnya di pagi hari, dan adakah yang sinar lain
yang mampu mengeringkan jemuran-jemuran anak ma’had, ikan-ikan milik orang
pinggir pantai, menjadikan evaporasi pada air laut yang kemudian turun dengan
bentuk bening, kecil, dan menyejukkan sebagaimana hujan yang menyuburkan
tanaman. Begitu sulit rasanya hidup di tengah-tengah masyarakat yang plural,
jika tak ada lagi sesosok yang memberi pedoman dan aturan untuk menjalankan
hidup ini.
Adakah seseorang
yang mampu menggantikannya? Adakah mentari yang telah terbenam kembali terbit
di malam hari? Namun hanya cahaya bulan yang ku dapat, meski tak seterang
mentari namun itu lebih baik dari pada harus berjalan gelap tanpa secercah
cahaya pun. Itulah sinar-sinar yang ada pada diri asatidz yang walau tak
seterang cahaya sang yai namun itu kan menjadi pemandu dan sebagai obor
penerangku di saat berjalan di tengah gelapnya dunia sebagaimana dunia yang
kian memfokuskan diri pada teknologi tanpa diikuti kemajuan moralitas
bangsa.